WARTA PERTIWI.COM, SURABAYA – Jejak sejarah Majapahit di Surabaya. Jika warga Surabaya ditanya ” Dimana letak Prasasti Wurare ? ” pasti mereka bingung menjawabnya, namun ketika mereka ditanya “Dimana tempat Patung Joko Dolog” mereka pasti langsung menunjukkan satu tempat yang berada di Jalan Taman Apsari yang terletak di kawasan Jalan Gubernur Suryo, tak jauh dari Gedung Negara Grahadi Surabaya.
Ya, memang Prasasti Wurare menjadi satu dengan Patung Joko Dolog, persisnya terpahat di bawah dan menjadi lapik atau alas duduk arca tersebut.
Prasasti Wurare merupakan salah satu prasasti peninggalan Kerajaan Singasari yang bertujuan untuk menghormati Prabu Kertanegara yang diwujudkan sebagai jina pada Arca Mahaaksobaya yang kelak dikenal sebagai patung Joko Dolog.
Berangka tahun 1211 saka atau 1289 masehi, yaitu tiga tahun sebelum Prabu Kertanegara gugur akibat pemberontakan Prabu Jayakatwang dari Kerajaan Gelang-Gelang yang terletak di Murawan Dlopo Madiun.
Sebenarnya hubungan Prabu Kertanegara dan Prabu Jayakatwang sangat dekat, mereka sepupu, ipar, dan juga besan. Istri Jayakatwang adalah adik Kertanegara yang bernama Nararya Turukbali, dan Ardharaja putra Jayakatwang menikah dengan salah satu putri Kertanegara.
” Prabu Jayakatwang adalah keponakan dari Sri Jaya Wardhani atau Dewi Waninghyun yang merupakan istri Mapanji Sminingrat atau Ranggwuni yang bergelar Sri Jaya Wisnuwardana, ayah dari Prabu Kertanegara,” kata Wakil Ketua Bidang Manuskrip dan Prasasti Badan Kebudayaan Nasional (BKN) Jawa Timur, Nanang Sutrisno kepada Warta Pertiwi.Com, Sabtu (14/4/2024)

Prasasti Wurare berbahasa Sansekerta, terdiri atas 19 baris berisi puji dan puji yang ditujukan kepada Buddha dan seorang pendeta pada masa Kerajaan Jenggala atau Kahuripan jaman pemerintahan Prabu Airlangga yaitu Mpu Baradha.
Mpu Baradha yang juga adik dari Mpu Kuturan yang mengabdi di Kerajaan Bali dibawah kepemimpinan Raja Marakata yang merupakan adik Raja Airlangga ini, berhasil membagi kerajaan Kahuripan menjadi dua yaitu Jenggala atau Kahuripan dan Panjalu atau Kadiri.
Pembagian kerajaan ini dimaksudkan untuk diberikan kepada kedua anak Prabu Airlangga yaitu Smarawijaya dan Mapanji Garasakan agar mereka tidak bermusuhan.
Pada akhirnya terjadi peperangan diantara mereka berdua, dan dimenangkan oleh Kerajaan Panjalu, hal ini tercatat dalam Prasasti Hantang atau Ngantang yaitu Kalimat “Panjalu Jayati” atau Panjalu menang,” jelas Nanang yang juga pengelola Organisasi Komunitas Majapahit Bhumi Wilwatikta.
Prasasti Wurare memuat isi lengkap sebagai berikut :
adāu namāmi sarbājñaṃ, jñānakayan tathāgataṃ, sarwwaskandhātiguhyasthani, sad-satpakṣawarjjitaṃ.
anw atas sarwwasiddhim wā, wande’hang gaurawāt sadā, çākakālam idaṃ wakṣye, rajakïrttiprakaçanaṃ.
yo purā paṇḍitaç çreṣṭha, āryyo bharāḍ abhijñātah, jñānasiddhim samagāmyā, bhijñālabho munïçwarah.
mahāyogïçwaro dhïrah, satweṣu kāruṇātmakah, siddhācāryyo māhawïro rāgādikleçawarjjitah.
ratnākarapramāṇān tu, dwaidhïkṛtya yawāwanlm, kṣitibhedanam sāmarthya, kumbhawajrodakena wai.
nrpayoṛ yuddhākaiikṣinoh, estāsmaj janggalety eṣā, pamjaluwiṣayā smṛtā
kin tu yasmāt raraksemām, jaya-çrï-wiṣnuwarddhanah, çrï-jayawarddhanïbhāryyo, jagannāthottamaprabhuh
ājanmapariçuddhānggah, krpāluh dharmmatatparah, pārthiwanandanang krtwā, çuddhakïrttiparākramāt
ekïkrtya punar bhümïm, prïtyārthan jagatām sadā, dharmmasamrakṣanārtham wā pitrādhiṣthāpanāya ca
yathaiwa kṣitirājendrag, çrï-hariwarddhanātmajah, çrï-jayawarddhanïputrah, caturdwïpegwaro munih
ageṣatatwasampürnno, dharmmāgastrawidam warah, jïrnnodhārakriyodyukto, dharmmagasanadecakah
çrï-jnānaçiwabajrākya, ç çittaratnawibhüsanah, prajñāragmiwiçuddhānggas, sambodhijñānapāragah
subhaktyā tam pratiṣthāpya, swayaṃ purwwam pratiṣthitam, çmāçane urarenāmni, mahākṣobhyānurüpatah
bhawacakre çakendrābde, māse cāsujisaṃjñāke, pañcaṃyām çuklapakse ca, ware, a-ka-bu-saṃjñāke
sintanāmni ca parwwe ca, karane wiṣtisaṃskrte, anurādhe’pi naksatre, mitre ahendramandale
saubhāgyayogasaṃbandhe, somye caiwa muhürttake, kyāte kuweraparwwege tulārāçyabhisaṃyute
hitāya sarbasatwānām, prāg ewa nrpates sadā, saputrapotradārasva kṣityekibhāwakāranāt
athāsya dāsabhüto’ham, nādajño nama kïrttinah, widyāhïno’pi saṃmuḍho, dharmmakriyāṣw atatparah
dhārmmadhyakṣatwam āsādya, krpayaiwāsj’a tatwatah, sakākalam sambaddhatya, tadrājānujnayā puñah

Apabila diterjemahkan secara bebas mengandung arti kurang lebih sebagai berikut:
1. Pertama-tama saya panjatkan puja puji syukur kepada Sang Tathagata (Pencipta), Sang Maha Tahu yang merupakan perwujudan dari segala pengetahuan, yang keberadaanya tersembunyi di antara semua unsur atau elemen kehidupan (skandha) dan yang terbebaskan dari segala bentuk ketiadaan dan keniscayaan.
2. Dengan segala penuh kehormatan selanjutnya atas kegemilangan yang mendunia dan yang akan dicatat sebagai sejarah pada tahun Saka masa yang menggambarkan kemuliaan raja.
3. Adalah Arya Bharada yang Terhormat di antara yang terbaik dari golongan orang-orang bijak dan orang-orang terpelajar, yang konon pada masa lampau, zaman terdahulu, berdasarkan hasil kesempurnaan pengalamannya oleh karenanya memperoleh abhijna (pengetahuan dan kemampuan supranatural).
4. Terkemuka diantara para yogi besar, yang hidupnya penuh ketenangan, penuh kasih dan mahluk yang pandai berserah diri, seorang guru Siddha, seorang pahlawan besar dan yang berhati bersih jauh dari segala noda dan prasangka.
5-6. Yang telah membagi dataran Jawa menjadi dua bagian dengan batas luar adalah lautan, oleh sarana kendi (Kumbha) dan air sucinya dari langit (vajra). Air suci yang memiliki kekuatan putus bumi dan dihadiahkan bagi kedua pangeran, menghindari permusuhan dan perselisihan – olehkarena itu kuatlah Jangala sebagaimana Jayanya Panjalu (vishaya).
7-9. Tetapi, dalam hal ini Raja Sri Jaya Wisnuwadhana, yang mempunyai pramesuri Sri Jayawardhani, yang terbaik di antara para penguasa bumi, yang memiliki kesucian jiwa pada kelahirannya, penuh kasih dan penguasa keadilan, oleh sebab disegani oleh para penguasa lainnya dikarenakan kesucian dan keberaniannya dalam mempersatukan negara untuk kemakmuran rakyat, menjaga hukum dan menetapkannya dan pewaris dari penguasa keadilan sebelumnya.
10-12. Tersebutlah, Seorang Raja yang bernama Sri Jnanasiwawajra (red, Sri Kertanegara), putra dari Sri Hariwardhana (red, Sri Jaya Wisnuwadhana) dan Sri Jaya Wardhani, adalah raja dari empat pulau, luas ilmunya dan adalah yang terbaik dari semuanya, yang memahami segala hukum dan membuatnya, yang mempunyai kecemerlangan pikiran dan sangat bersemangat untuk melakukan pekerjaan perbaikan dalam kehidupan beragama, yang tubuhnya disucikan dengan sinar kebijaksanaan dan yang sepenuhnya memahami sambodhi (ilmu pengetahuan agama Buddha) – layaknya sang Indra diantara mereka para raja yang memerintah di bumi.
13-17. Maka dibuatlah tugu peringatan (Arca) setelah pengabdiannya sebagai perlambang kebesaran dirinya yang ditahbiskan dalam bentuk perupaan Mahakshobhya, pada tahun 1211 Saka pada bulan atau Asuji (Asvina) pada hari dikenal sebagai Pa-ka-bu, hari kelima dari cahaya bulan setengah terang, sebagai mana kisah dalam Parvan bernama Sinta dan vishti karana, Ketika Para Anuradha Nakshatra berada di bola atau Indra, terus Saubhagya yoga dan Saumya muhurta dan di Tula Rasi – demi kebaikan semua makhluk, dan yang Terutama dari Semuanya, oleh karena raja dengan keluarganya, telah membawa persatuan negara.
18-19. Saya, (yaitu abdi raja, si pembuat prasasti) hamba yang rendah hati, yang dikenal dengan nama Nadajna, meskipun bodoh, tanpa belajar dan hanya sedikit melakukan kebaikan, telah melakukan atas dasar persetujuan Raja, menjadi pemandu upacara ritual keagamaan, telah diperintah oleh Vajrajnana untuk mempersiapkan kisah ini.
Pada masa penjajahan kolonial Belanda, tepatnya tahun 1817 Masehi. Prasasti Wurare hendak dibawa menuju negeri Nederland menggunakan kapal laut melalui Pelabuhan Surabaya, namun sampai disana selalu mengalami kegagalan karena patung menjadi terasa berat saat hendak dipindahkan ke kapal. Akhirnya Belanda putus asa dan patung ditempatkan di bagian halaman belakang Grahadi, yang bernama Taman Sari atau Taman Apsari. Saat itu bagian depan Grahadi masih menghadap ke arah Kali Mas.
Kini Patung Joko Dolog menjadi benda cagar budaya dan menempati satu area yang dilengkapi dengan cungkup dan pagar pembatas. Keberadaannya sekarang terasa menyatu dengan Gedung Negara Grahadi, Taman Gubernur Suryo, Kantor Pos, Gedung Wartawan, maupun Kafe-kafe yang berjajar di tempat ini.
Tempat ini sering dikunjungi oleh pengunjung dari berbagai komunitas, baik tua maupun muda. Dengan tujuan untuk sekedar rekreasi, belajar sejarah, maupun melakukan ritual ritual tertentu. (id@)


