WARTA.PERTIWI.COM, KUPANG (NTT)– Fenomena pernikahan anak di bawah umur menjadi pekerjaan rumah buat pemerintah Kota Kupang, Provinsi NTT untuk menekan serendah mungkin bahkan tidak boleh terjadi.
Dari data yang dihimpun Dinas Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan Anak (DP3A) Kota Kupang kalau pada tahun 2023 jumlah kasus perkawinan usia Anak di tahun 2021 sebanyak 2 kasus dan pada tahun 2022 mengalami penurunan sebanyak 1 kasus.
Terkait permasalahan ini maka DP3A Kota Kupang padaKamis 22 Agustus 2024 di T-more Hotel telah dilaksanakan sosialisasi dengan kelompok sasaran pelajar SMP dan SMA/SMK di Kota Kupang.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas P3A Kota Kupang, Imelda Manafe saat membuka kegiatan sosialisasi pencegahan perkawinan Anak mengatakan, Pemerintah Kota Kupang sangat prihatin dengan fenomena perkawinan anak di bawah umur.
Tujuan dilaksanakan sosialisasi agar anak sebagai penerus cita-cita bangsa memiliki kesadaran untuk tidak menikah dalam usia di bawah umur.
Karena perkawinan anak di bawah umur merupakan pelanggaran atas hak anak yang merupakan bagian dari hak asasi manusia sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002.
Untuk itu, kata Imelda, para pihak wajib melindungi anak-anak dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
“Makanya sosialisasi terus kita dilakukan agar harapan perkawinan usia dini harus ditekan serendah mungkin bahkan tidak boleh terjadi khusus di Kota Kupang ini,” harap Imelda.
Imelda menandaskan, penyebab terjadinya perkawinan Anak di bawah usia bisa saja karena faktor ekonomi, dan faktor sosial, kemiskinan.
Juga karena kondisi ketidaksetaraan gender, konflik sosial, ketidakadaan akses layanan dan informasi kesehatan reproduksi komprehensif, norma sosial yang menguatkan stereotip gender tertentu dimana perempuan harus menikah muda.
Imelda meminta perlu adanya sinergitas dan kolaborasi yang erat di antara pemerintah, masyarakat, dan stakeholder terkait dalam menjamin perlindungan hak-hak anak benar-benar terwujud sesuai undang – undang.
Sementara itu Dewi Pattyradja selaku narasumber mengatakan, pada masa remaja terjadi perubahan fisik maupun biologis sehingga para remaja perlu sedini mungkin mengetahui dan mengenal sistem reproduksi beserta pertumbuhannya.
Karena menurut WHO remaja adalah penduduk dalam rentang usia 10-19 tahun dan menurut BKKBN di usia 10-24 tahun mereka usia remaja yang belum saatnya untuk menikah.
Anak yang dipaksa menikah atau karena kondisi tertentu harus menikah di bawah usia 18 tahun akan memiliki kerentanan terhadap penyakit dan kualitas kesehatannya pun tidak stabil.
Kegiatan sosialisasi pencegahan perkawinan Anak ini dihadiri perwakilan para siswa dan siswi dari beberapa SMP dan SMK dan SMA di Kota Kupang.(*/Rio).