WARTA PERTIWI.COM, SURABAYA – Nasib istri pertama yang diduakan, tak seindah nasib istri kedua yang dinomorsatukan.
Sebuah lagu dari Achmad Dani dari group musik Dewa 19 yang berjudul Madu Tiga pernah hit di jamannya. Syair lagu ini kurang lebih menceritakan senangnya perasaan seorang laki-laki yang mempunyai dua istri.
Yaaa… Ternyata urusan poligami tidak hanya menjadi domain dan kesukaan laki-laki jaman modern seperti sekarang ini, ratusan tahun yang lalu tepatnya jaman Kerajaan Singasari sudah terjadi. Gara-gara urusan perempuan, akhirnya Ken Angrok membawa Kerajaan Singasari terjerembab masuk pusaran konflik kekuasaan yang nyaris tak berujung. Konflik yang diakibatkan oleh harta, tahta, dan wanita.
Badan Kebudayaan Nasional (BKN) Provinsi Jawa Timur, melalui Bidang Manuskrip dan Prasasti secara masif dan intensif telah mengadakan studi dan penelitian di lapangan terkait prahara dan konflik yang terjadi di kalangan keluarga Wangsa Rajasa.
Termasuk perebutan harta pusaka dan tahta, serta keterlibatan para wanita istana seperti Ken Dedes, Ken Umang, Dewi Rimbu, Dewi Rambi, Bajra Dewi dan Nararya Turukbali.
Adalah Ken Umang, sosok selir istimewa dalam keluarga Wangsa Rajasa, perempuan ini adalah istri pertama dari Keng Angrok, raja Singasari pertama yang bergelar Sri Rangga Rajasa Sang Batara Amurwabhumi.
Dikawini oleh Ken Angrok, saat masih muda. Dimana murid Brahmana Lohgawe tersebut masih menjadi seorang perampok paling ditakuti di wilayah Wetaning Kawi, terutama sekitar Padang Karautan. Bahkan orang di jaman itu menyebutnya sebagai Hantu Padang Karautan.
Pertama kali Ken Angrok mengenal Umang di rumah Bango Samparan, dan Umang adalah anak bungsu dari bapak angkatnya tersebut . Sejak kecil Umang sudah mengagumi kakak angkatnya tersebut, dan Ken Angrok juga menyayangi gadis kecil itu.
“Tampaknya Angrok dan Umang sudah saling mencintai sejak pandangan pertama. Dan perasaan itu mereka bawa sampai mati,” kata Wakil Ketua Bidang Manuskrip dan Prasasti Badan Kebudayaan Nasional (BKN) Provinsi Jawa Timur, Nanang Sutrisno kepada Warta Pertiwi.Com, Kamis (9/5/2024)
Kedua anak manusia tersebut sering menghabiskan waktu bersama, sembari menggembalakan ternak kerbau, sapi, dan ayam milik Bango Samparan di persawahan Karuman Malang sekarang, Angrok kerap kali mengajari Umang ilmu beladiri, baik tangan kosong maupun menggunakan senjata.

Candi Telih yang terletak di Dusun Sumbul, Desa Klampok, Kabupaten Malang sekarang adalah saksi bisu kedekatan Ken Angrok dan Umang. Candi dengan tinggi 2 meter, dan lebar 2,5 meter tersebut dikemudian hari selalu menjadi tempat untuk melepas rindu dan bercinta bagi Ken Angrok dan Umang.
Hati Umang terasa bahagia sekali saat itu, namun kebahagiaan putri Bango Samparan itu tidaklah lama, karena Ken Angrok ternyata tiba-tiba menghilang tak tentu rimbanya.
“Ternyata Kepergian Ken Angrok untuk mempersiapkan pemberontakan kepada Tunggul Ametung yang dianggap sebagai antek antek Kerajaan Kadiri,” jelas Nanang yang juga Pimpinan organisasi pelestari budaya di Surabaya ini.
Dalam pertemuan singkat di Candi Telih, Ken Angrok memberikan penjelasan kepada Umang terkait aktifitas perjuangan selama ini, ternyata anak Bango Samparan itu sangat mendukung gerakan perlawanan yang dilakukan Ken Angrok.
Dia bersama teman-temannya ikut bergerilya berjuang dalam barisan bawah tanah melawan arogansi dan kesewenang-wenangan pasukan Tumapel yang selama ini telah berperilaku buruk, mulai dari merampas harta hingga memperkosa penduduk.
Dalam masa perjuangan yang begitu berat tersebut, Ken Angrok akhirnya memutuskan mengawini Umang. Prosesi upacara pemberkatan perkawinan dipimpin oleh Brahmana Lohgawe, guru Ken Angrok. kemudian Begawan tersebut menganugerahkan nama depan untuk Umang, sehingga menjadi Ken Umang.
Menurut Prasasti Mula Malurung yang berangka tahun 1255 Masehi, dari perkawinan tersebut lahir Panji Tohjaya, Panji Sudatu, Tuan Wregola, dan Dewi Rambi.
Setelah sekian lama berjuang sebagai gerilyawan di hutan-hutan, atas saran Brahmana Lohgawe, gurunya strategi perjuangan Ken Angrok dirubah. Dia masuk ke lingkup istana Pakuwon Tumapel, mengabdi sebagai prajurit pengawal, yang ditugaskan mengawal permaisuri Ken dedes.
” Peristiwa Taman Boboji, ditandai dengan tersingkapnya kain Ken Dedes hingga ke pangkal paha menjadi awal perubahan takdir Ken Arok,” tambah Nanang Sutrisno yang juga berprofesi di bidang hukum ini.
Waktu terus berjalan, Ken Angrok berhasil mewujudkan ambisinya menjadi Akuwu di Tumapel menggantikan Tunggul Ametung yang dibunuhnya, dan kemudian memperistri Ken Dedes istri dari Tunggul Ametung.
Kejayaan Ken Angrok semakin bersinar, ketika pasukan Pakuwon Tumapel yang dipimpinnya berhasil mengalahkan tentara Kerajaan Kadiri, dan berhasil menghabisi rajanya yaitu Prabu Kertajaya pada pertempuran di Desa Ganter, Ngantang, Malang pada 1222 Masehi.
Bersatunya Ken Dedes, Ken Angrok, dan Ken Umang dalam Istana Singasari, menjadi awal pemicu prahara berkepanjangan bagi Wangsa Rajasa.

Konflik sekitar harta, tahta, dan wanita tersebut memang tidak bisa dihindari, posisi kedua istri Rangga Rajasa Sang Batara Amurwabhumi tersebut sama-sama penting dan memiliki jasa yang besar bagi berdirinya Singasari.
Perbedaannya hanya sedikit Ken Umang berjuang bersama secara fisik bersama Ken Angrok di luar istana, sedangkan Ken Dedes berjuang menggunakan pikiran di dalam istana dan memiliki rahasia besar Ken Angrok , terutama seputar kematian Tunggul Ametung.
Pada saat penobatan Ken Dedes sebagai permaisuri, sempat timbul protes dari para pasukan gerilyawan yang dulu berjuang bersama Ken Umang, hingga sampai Brahmana Lohgawe turun tangan untuk memberikan penjelasan kepada mereka.
Rupanya pemikiran guru Ken Angrok tersebut memiliki dasar yang kuat, yaitu untuk mencegah rasa ketidakpuasan keluarga besar Tunggul Ametung yang sudah terlanjur menganggap bahwa Ken Angrok adalah pahlawan penyelamat Tumapel.
Ken Angrok juga melakukan pendekatan dari hati ke hati kepada istri pertamanya itu bahwa hanya Ken Umang lah cinta pertama dan cinta mati Ken Angrok.
Akhirnya Umang yang istri pertama tersebut bersedia hanya dijadikan istri selir, sementara permaisuri disandang oleh Ken Dedes yang justru merupakan istri kedua Ken Angrok.
Namun perjuangan dan kerelaan Ken Umang rasanya sia-sia belaka, karena konflik berkaitan dengan harta, tahta, dan wanita di kalangan Wangsa Rajasa masih berlanjut.pembunuhan demi pembunuhan antara keluarga tidak bisa dihindari. Hal ini dikarenakan sikap Ken Dedes yang tidak legowo dan memaksakan diri untuk mewujudkan keinginan nya sendiri.
Tunggul Ametung, Ken Angrok, Anusapati, Panji Tohjaya adalah korban sia-sia dari konflik keluarga yang disebabkan oleh harta, tahta, dan wanita. Bahkan Ken Umang dan Ken Dedes menjadi saksi mata kejamnya prahara tersebut.
Nama Umang konon berarti Kepiting, dimana memiliki kelebihan menjepit dan mencengkram sesuatu dengan kuat, layaknya cengkraman Elang. Selain itu walaupun memiliki sifat berjalan dengan arah miring, namun memiliki pandangan mata yang mampu melihat ke segala arah hingga 180 derajat.
Nama ini ternyata mampu mewakili sosok dirinya. Cinta Ken Umang kepada Ken Angrok begitu besar, dan cinta itu mencengkram kuat di dada Ken Angrok, hingga dalam beberapa pertempuran, dia menempatkan diri sebagai pelindung Ken Angrok, yang terkadang mengabaikan keselamatan dirinya sendiri. Sehingga pantas saja Ken Angrok lebih mencintai Ken Umang daripada Ken Dedes, walaupun kecantikan Ken Umang kalah dengan Ken Dedes, dan juga walaupun Kulit Ken Umang tidak seputih kulit Ken Dedes. (Id@)